Menurut imam Al Ghazali, agama
adalah jalan atau perjalanan menuju
Allah. Dalam terminologi sufistik perjalan ini dinamai al-Suluk,
sedangkan penempuh perjalanan dinamai al-Salik, sang penempuh perjalanan, dan yang dituju (al-Mathlub) adalah Allah SWT (Mizan al-amal, 1979).[1]
Karena Agama ini adalah perjalanan menuju Alloh SWT, maka
jika pun kita pernah menjadi pribadi kotor maka janganlah berputus asa untuk
mendekat kepadaNya. Karena dengan mendekat kepadaNya Allah sendirilah yang akan
membersihkan jiwa dan raga kita. Tidak ada kata terlambat untuk beribadah
kepadaNya. Selama nyawa masih di kandung badan, maka pintu taubat dan ampunan
dari Alloh SWT selalu terbuka lebar. Oleh karena itu, maka langkah pertama untuk
bertaqorrub ila Alloh adalah dengan
cara bertaubat kepadaNya.
Dalam bahasa yang lebih umum perjalanan ini dinamai taqarrub, yaitu proses mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam bahasa yang lebih umum perjalanan ini dinamai taqarrub, yaitu proses mendekatkan diri kepada Allah.
Dari terminologi ini maka bisa dikatakan bahwa bagi orang
yang beragama, maka proses mendekatkan diri ini merupakan sebuah kewajiban yang
harus dilakukan.
Proses mendekatkan diri ini merupakan proses dari seseorang
agar lebih matang dalam beragama. Hendaknya, setiap manusia secara
perlahan-lahan dan bertahap selalu mendekatkan dirinya kepada penciptanya yaitu
Allah SWT.
Dengan proses mendekatkan dirinya ini maka diharapkan
seseorang yang beragama menjadi paham apa tugas hidupnya di dunia ini : yaitu
mencari keridhoan Allah SWT, beribadah kepadaNya, serta mencapai derajat Taqwa.
Adapun beberapa hadits tentang taqarrub
ilâ Allâh adalah sebagai berikut :
Siapa mendekat kepada KU (Allah) sejengkal, maka aku akan
mendekatinya satu hasta, Siapa yang mendekat kepada KU (Allah) satu hasta, maka
aku akan mendekat kepadanya satu depa. Dan siapa yang mendekat kepada KU
(Allah) dengan berjalan kaki, maka aku akan mendekatinya dengan berlari-lari
kecil (HR Muslim).
Tidaklah
hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai
daripada melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepadanya; tidaklah hamba-Ku terus
mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawâfil) hingga aku mencintainya.” (HR al-Bukhari
& Muslim, Fath al-Bari,
XVIII/342; Syarh Muslim,
IX/35).